SEJARAH PECINTA ALAM INDONESIA

pictrue credit via first4adventure.co.uk

Ringksan Sejarah

Orang orang PA(pecinta alam) sudah ada sebelum Indonesia merdeka.Tahun 1912,di Nusantara sudah ada yang namanya DE NEDERLANDSH INDISCHE VEREENIGING TOT NATUUR RESCHERMING yang sebuah komunitas yang berkegiatan dia alam.Hingga pada tahun 1937 terbentuklah BESCHERMING AFDELING VAN'T LAND PLANTETUIN. Pada tahun inilah kegiatan kepencintaalaman mulai aktif. yang menjadi pertanyaan,kapankah kegiatan kepecinta alaman mulai diadakan secara resmi, mengapa istilah 'pencinta alam'yang dipilih?.
Picture ilustration via sunjayadi.com
Untuk lebih jelasnya berikut merupakan sebuah ringkasan dari artikel alm. Norman Edwin berjudul "Awibowo - Biang Pencinta Alam Indonesia" (Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984). sekedar menjawab pertanyaan-pertanyan tentan kepecinta alaman.

Norman Edwin
Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air. Nama perkumpulannya yaitu PERKOEMPOELAN PENTJINTA ALAM (PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. "Selesai revolusi kami ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya,"kata Awibowo yang saat wawancara sudah berusia hampir 80 tahun.
Saat pendirian, Awi baru selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Diskusi ramai digelar bersama teman-temannya, ada yang mengusulkan 'penggemar alam, pesuka alam'dsb. Tapi Awi mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka. Gemar/suka mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?"kata dia. 
Istilah pencinta alam akhirnya dipakai. Tapi bagaimana reaksi masyarakat saat itu. Ternyata orang-orang masih merasa aneh karena saat itu istilah cinta masih dikaitkan selalu dengan asmara. Tapi Awibowo dkk terus bergerak. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggota-anggotanya dan masyarakat umumnya. Satu kegiatan besar yg pernah diadakan PPA adalah pameran tahun 1954 dalam rangka ulang tahun kota Jogja. Mereka membuat taman dan memamerkan foto kegiatan. Mereka juga sempat merenovasi "argadhumilah" /tempat melihat pemandangan di Desa Patuk, tepat di jalan masuk Kabupaten Gunung Kidul. 
PPA sempat meluas hingga anggota datang dari Jogja dan kota lain. Mereka juga sempat menerbitkan majalah "Pentjinta Alam"yang terbit bulanan. Sayang perkumpulan ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1950. 
WANADRI (PERHIMPUNAN PENEMPUH RIMBA DAN PENDAKI GUNUNG), merupakan salah satu organisasi tertua yang bergerak dalam kegiatan alam bebas. Wanadri mempunyai sekretariat di kota Bandung. Wanadri berdiri tahun 1964, tahun yang sama dengan tahun lahirnya MAPALA SASTRA UI. Gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dicetuskan oleh sekelompok pemuda yang sebagian besar adalah bekas pandu pada bulan Januari 1964.
Perhimpunan ini kemudian diresmikan pada tanggal 16 Mei 1964. Wanadri terdiri dari sekelompok orang yang mencintai kehidupan di alam bebas. Wanadri lebih jauh lagi merupakan masyarakat tersendiri, yang memiliki aturan dan norma baik tertulis maupun tidak, namun semua itu berlaku dan dihormati. Nama Wanadri berasal dari bahasa Sansekerta. "Wana" berarti hutan dan "adri" itu gunung. Wanadri berarti gunung di tengah-tengah hutan. Visinya berdasar AD/ART adalah menjadi organisasi pendidikan untuk mendidik manusia, khususnya anggotanya untuk mempunyai nilai-nilai yang terkandung dalam hakekat dan janji Wanadri. Tujuan Wanadri adalah membentuk manusia yang mandiri, ulet, tabah. Mendidik anggotanya menjadi manusia Pancasilais sejati, percaya pada kekuatan sendiri.
Di Fakultas Sastra UI, sebelum berdirinya Mapala UI, sudah terdapat kelompok – kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan. Sayangnya kelompok – kelompok ini tidak terkoordinir dengan baik dalam satu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat – peminat baru di luar jurusannya.

Adalah seorang Soe Hok Gie yang mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mengkoordinir kelompok – kelompok tadi, berikut kegiatan mereka di alam bebas. Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata.

Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Sdr. Soe sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama IKATAN PENCINTA ALAM MANDALAWANGI itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Adapun organisasi yang diidamkan Sdr. Soe itu merupakan organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Kegiatan ini terutama pada masa liburan. Bedanya dengan kelompok yang ada, gagasan ini terutama ditekankan pada perlunya memberikan kesempatan pada mereka yang sebelumnya pernah keluyuran , untuk melihat dari dekat tanah airnya. Namun pada akhirnya usaha ini gagal karena ada kesalahan teknis pada saat akan diadakan pendeklarasian di Cibeureum pada November 1964. Meskipun usaha pertama gagal, para perintis ini tidak menyerah. Sementara mematangkan ide, mereka bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Dan pada waktu itu segala yang borjuis, habis diganyang. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito.
MAPALA merupakan singkatan dari MAHASISWA PENCINTA ALAM. Dan "Prajnaparamita" berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Dewi Prajnaparamita juga menjadi lambang dari senat FSUI saat itu. Lambang yang digunakan adalah gambar dua telapak kaki dengan tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA dibawahnya. Telapak kaki kiri terletak lebih kedepan dari telapak kaki kanan. Hal ini melambangkan kehadiran di alam bebas dalam bentuk penjelajahan dan sebagainya. Selain itu lambang telapak kaki ini juga diilhami penggunaan tapak kaki oleh raaja Purnawarman dalam prasasti – prasastinya yang dapat diartikan lambang kebesaran. Dibawah tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA ditambah tulisan FSUI yang menunjukkan tempat bernaungnya organisasi ini. Pada tanggal 11 Desember pukul 06.30 semua peserta yang mencapai lebih dari 30 orang berkumpul di lapangan Banteng dan berangkat. Pada pukul 11.00, mulailah rombongan mendaki lereng – lereng terjal dari bukit kapur Ciampea. Hari yang panas waktu itu membuat beberapa peserta ”anak mami” kelelahan dan merepotkan panitia. Jam 14.30 peserta tiba di bukit. Tenda segera didirikan. Pada malam hari angin bertiup sangat kencang dan hujan lebat. Tenda banyak yang roboh, sehingga peserta banyak yang berteduh di gubuk yang kebetulan ada disitu. Hampir saja peresmian Mapala dibatalkan karena sampai dengan jam 20.00 hujan masih lebat. Namun akhirnya pada pukul 21.00 hujan berhenti dan bulan bersinar terang. Semua peserta yang basah kuyup dikumpulkan untuk mengadakan rapat pembentukan MAPALA yang dipimpin Sdr. Soe. Ketika rapat sedang berjalan, tiba – tiba datang tamu dari Jakarta yaitu Bpk Soemadio, Bpk soemadjito dan Mang Jugo Sarijun yang sengaja datang untuk menyaksikan upacara peresmian MAPALA. Sdr Maulana terpilih sebagai ketua pertama dan formatur tunggal. Sampai dengan tahun pertama, Mapala telah memiliki 12 orang anggota yaitu AS Udin, Rahaju, Surtiarti, Ratnaesih, Endang Puspita, Mayangsari, Soe Hok Gie, Judi Hidajat, Edhi Wuryantoro, Koy Gandasuteja, Wahjono, dan Abdurrahman. Sampai tahun 1970-an, di beberapa fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara lain : Ikatan Mahasiswa Pencinta alam (IMPALA) di Psikologi, Climbing And Tracking Club (CATAC) di Ekonomi, Yellow Xappa Student Family (Yexastufa) di Teknik, Climbing And Tacking (CAT) di Kedokteran dll.
Setelah berjalan beberapa waktu di fakultasnya masing–masing, organisasi–organisasi ini merasakan dan menyadari bahwa Mapala UI yang telah terbentuk dan disetujui oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah milik seluruh mahasiswa UI. Oleh karena itu organisasi–organisasi tersebut setuju untuk bersatu dalam satu wadah yaitu MAPALA UI. 
Kemudian pada tahun 1970, WANADRI memprakarsai Gladian Nasional yang merupakan pertemuan akbar pecinta alam se Indonesia. Menurut bahasa berasal dari “gladi” (bahasa Jawa) yang mempunyai arti “latihan” sehingga Gladian Nasional bisa diartikan sebagai “ajang latihan” bagi para pecinta alam guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam bidang kepecintaalaman dan kegiatan alam bebas. Gladian Nasional juga berperan sebagai wahana silaturahmi dan berbagi pengetahuan antar perkumpulan pecinta alam se Indonesia.
Pada awalnya kegiatan ini diadakan oleh WANADRI sebagai ajang latihan bagi anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam gladian ini antara lain mountaineering, pengenalan SAR, acara kekeluargaan, serta tukar menukar informasi dan pengalaman. Selain anggota WANADRI dalam kegiatan ini diundang pula beberapa perhimpunan- perhimpunan pencinta alam dan pendaki gunung yang ada di Jawa. Dalam acara gladian yang kemudian dikenal sebagai Gladian Nasional I ini hadir 109 orang dari 18 perhimpunan. Pada kesempatan itu pula akhirnya disepakati bersama untuk menyelenggarakan gladian-gladian selanjutnya sebagai media pertemuan dan latihan pencinta alam dan pendaki gunung di Indonesia. Salah satu Gladian Nasional yang fenomenal adalah Gladian Nasional IV yang berlangsung di Sulawesi Selatan di mana dalam gladian ini berhasil disepakati KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA yang masih dipergunakan oleh berbagai perkumpulan pecinta alam di Indonesia hingga sekarang.

Meskipun tidak rutin dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu namun Gladian Nasional telah berhasil dilaksanakan beberapa kali. Berikut adalah daftar pelaksanaan Gladian Nasional: * Gladian Nasional I diselenggarakan oleh WANADRI pada tanggal 25 – 29 Februari 1970 di tebing Citatah Jawa Barat. * Gladian Nasional II diselenggarakan pada tahun 1971 di Malang Jawa Timur yang diselenggarakan oleh TMS 7 Malang. * Gladian Nasional III diselenggarakan di Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat pada bulan Desember 1972. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pencinta alam dan Penjelajah Alam se-Jakarta. * Gladian Nasional IV diselenggarakan di P. Lae-Lae dan Tana Toraja Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1974. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Kerja sama Club Antarmaja Pencinta Alam se-UjungPandang. Dalam gladian IV yang dihadiri oleh 44 perhimpunan organisasi pecinta alam ini berhasil menyepakati Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang masih dipergunakan hingga sekarang. * Gladian Nasional V diselenggarakan di Jawa Barat pada bulan Mei 1978. Gladian ini semula direncanakan dilaksanakan pada tahun 1974 namun baru bisa berhasil diselenggarakan pada tahun 1978 oleh WANADRI bekerja sama dengan berbagai perhimpunan organisasi Pecinta Alam (dan sejenisnya) se Jawa Barat. * Gladian Nasional VII diselenggarakan di Kalimantan Tengah. * Gladian Nasional IX dilaksanakan di Lampung pada bulan Januari 1989. * Gladian Nasional X diselenggarakan di Jawa Barat pada tanggal 5–10 September 1994. * Gladian Nasional XI dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 4–11 Agustus 1996. * Gladian Nasional XII dilaksanakan di Jawa Timur dari tanggal 28 Mei- 5 Juni 2001. * Gladian Nasional XIII direncanakan dilaksanakan pada tanggal 7-17 Agustus 2009 di Mataram Nusa Tenggara Barat. Sedangkan divisi pemanjatan tebing mencatat pada tahun 1977, Skygers Amateur Rock Climbing Group didirikan di Bandung oleh Harry Suliztiaito, Agus Resmonohadi, Heri Hermanu, Deddy Hikmat. Inilah awal tersebarnya kegiatan panjat tebing di Indonesia (dari berbagai Sumber).

Sejarah Pecinta Alam Makassar

Sejarah pencinta alam Kota Makassar,ataupun Sulawesi Selatan diawali dengan terbentuknya Mountain Climber Association – Libra Double Cross (LDC) Makassar yang berdiri pada tanggal 10 Oktober 1969 [milad ke-41 bertepatan tanggal 10-10-2010 di Pantai Akkarena Tanjung Bunga]. Pendirinya antara lain Alm. Azis Longgari (L. 001), Rudy Muchtady (L. 005), Muchtar Freddy, Papas, Makmur dll. Berselang beberapa waktu, mulailah bermunculan Club-Club pendaki gunung lainnya seperti Gembel (Syahrul YL), Antariksa (Ilham A. Sirajuddin), Pathandos, Black Cats, dan Egos.

Kegiatan pendakian gunung yang mereka lakukan masih di sekitaran Sulawesi, seperti di Bawakaraeng, Lompobattang, Bulusaraung, dan Latimojong. Pemberian Kartu Anggota bagi peminat yang ingin masuk di klub-klub tersebut harus diserah-terimakan di puncak gunung-gunung tersebut. Sesuai dengan informasi via internet dari Arifin Rauf (GM Istimewa PAL-FAHUT UNHAS) dan Rahmat Zainuddin (pendiri Kalpataru Smansa) basecamp pendaki pertama-tama di jalur Gunung Bawakaraeng adalah sebuah rumah di Kampung Beru yang dijadikan tempat melapor jika hendak naik ke Bawakaraeng. 
Jalur Lembanna dibuka oleh LDC, karena sebelumnya penduduk naik lewat Lombasang. Perjalanan ke Bawakaraeng dulu tidak semudah sekarang. Dulu di era `60 sampai awal 70-an, Bawakaraeng bisa ditempuh berhari-hari karena hutannya yang lebat yang dapat membuat orang tersesat, ditambah lagi kita harus sudah mulai trekking dari Kota Malino, sebab belum ada kendaraan yang sampai ke Kampung Beru. Sekitar tahun 1976, mulai terjadi perpindahan sebagian penduduk Kampung Beru dan Bulu’ Ba’lea ke sebuah kawasan perkebunan sayur di sebelah barat daya, yang kemudian di sebut Lembanna [sekitar tahun 2005, kawasan ini diklaim oleh oknum TNI sebagai miliknya namun mentah di pengadilan]. Perpindahan ini menyebabkan berpindahnya pula basecamp pendakian dari Kampung Beru ke Kampung Lembanna hingga saat ini.
Klub-Klub tahun 70-an, selain melakukan kegiatan mendaki gunung, juga melakukan berbagai aktifitas lain. Otomotif, band dan olahraga adalah salah satunya. Tak jarang juga mereka long-march melintasi propinsi, seperti dikutip di TEMPO ONLINE bertanggal 17 Februari 1973:

….Bila masa liburan tiba, remaja-remaja ini ramai-ramai berlomba jalan jauh atau mendaki gunung. Dalam surat keterangan yang diberikan disebutkan, dilarang minta bantuan, kecuali kalau memang terpaksa sekali. Kalau ada keluhan dari sementara daerah yang mereka lewati, itu kesalahan para pejabat sendiri, kenapa mau memberi bantuan. Sampai kini sudah ada 11 club jalankaki jarak jauh ke Menado dari Ujung Pandang, melewati hutan belukar dan berkenalan dengan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Jarak yang cukup jauh bagi pejalan kaki, mereka tempuh dalam 2 bulan. Kini ada di antara mereka yang masih dalam perjalanan….

Pada Mei 1972, sudah terbentuk Badan Kerja Sama Club-club Antar Remaja Pencinta Alam se-Ujung Pandang, dengan anggota 2000 orang yang berumur rata-rata 15-25 tahun. Semula hanya 36 club bergabung. Akhir tahun 1972 menjadi 164. Dan mungkin karena bosan, jumlah ini menyusut tinggal separo pada awal 1973. Badan Kerja Sama dibentuk dengan susunan kepengurusan: Ketua Umum, AKBP Andi Amdurrachman (Komandan Kepolisian Kota Besar Ujung Pandang); Ketua Pelaksana, Kompol Drs Arief Wangsa; serta Ketua I Azis Longgari. Kepengurusan dipimpin oleh polisi-polisi karena Club-club tidak mau dipimpin anggota club lain, karena mereka bersaing satu sama lain.[Tempo Online.17 Feb.1973]

Cikal Bakal Pendakian Gunung di Jawa.

Kegiatan mendaki gunung di Jawa sebagai kegiatan pemuda, sudah dimulai sejak tahun 50-60an, ditandai dengan terbentuknya Perhimpoenan Petjinta Alam (1953) di Jogja [artikel Norman Edwin, Majalah Mutiara 20 Juni-3 Juli 1984], Ikatan Pentjinta Keindahan Alam – Indrakila (1955) di Malang, serta yang fenomenal adalah terbentuknya Wanadri di Bandung serta Mapala Pradnya Paramitha di Jakarta (cikal bakal Mapala UI) tahun 1964. Pendakian Gunung Semeru, Slamet, Gede-Pangrango dan lain-lain mulai ramai oleh klub-klub pendaki tersebut. Bahkan, mereka cenderung berlomba-lomba menaklukkan puncak-puncak gunung.
Agustus 1967, Mapala Pradnya Paramitha UI dibawah pimpinan Soe Hok Gie mencapai puncak Gn Slamet (3422 mdpl). Padahal sebelumnya Junghunh (ahli biologi kebangsaan Belanda) mendaki dengan tangan merangkak ke puncaknya, dan Wanadri ditemani rombongan RPKAD yang mendaki dari lereng selatan, membutuhkan waktu 11 jam tanpa henti. [Zaman Peralihan.2005-So Hok Gie & Kompas 14,15,16,18 sep 1967].
Tahun 1970, Top Mountain Stranger – 7 (TMS-7) Malang melalui Karangploso, lebih dulu mencapai puncak Gn Arjuno dari pada Young Pioneers Mountain Climber – Malang yang naik dari Sumberbrantas Cangar. Persaingan-persaingan seperti ini sangat keras di kalangan Club Pendaki Gunung di era 60-70an walaupun persaudaraan tetap erat. [Bersama Alam Kami Berhimpun-YEPE.2009 hal. 144]
Kecelakaan pertama di dunia pendakian gunung di Jawa, dialami oleh Soe Hok Gie dan Idhan Lubis (Mapala UI) pada Desember 1969 di Puncak Mahameru, diikuti oleh Soebijanto dan Tony Wahyu (Young Pioneer Malang) pada Februari 1972 di Gunung Ayek-Ayek yang masih di dalam lokasi Pegunungan Semeru. [Bersama Alam Kami Berhimpun-YEPE.2009]

Gladian Nasional – Wanadri.

Februari 1970 tepatnya tanggal 25 – 29, Wanadri menyelenggarakan GLADIAN yang bertujuan meningkatan kemampuan anggotanya dalam bidang petualangan. Bertempat di Tebing Citatah Jawa Barat, peserta Gladian pertama dominan anggota-anggota Wanadri sendiri, namun dari Jawa Timur diundang khusus 2 (dua) perhimpunan yaitu, TMS-7 Malang dan Kapuronto Fakultas Hukum UNAIR Surabaya. Melalui forum inilah Gladian berikutnya dikonsep menjadi ajang nasional, dan TMS-7 siap menjadi penyelenggaranya di Malang. Penyelenggaraannya diputuskan satu tahun terhitung tanggal penyelenggaraan Gladian I di Citatah, berarti paling lambat Februari 1971. Maka segeralah dibentuk Panitia Lokal di Malang yang diberi nama Badan Kontak Pencinta Alam Malang yang menurut usulan Kol. (inf) Soewandi (Komandan KODIM Malang) sebaiknya melibatkan organisasi sejenis yang pada saat itu sudah ada di Malang, a.l IPKA-Indrakila (1955), Young Pioneers (1969), Adventurer & Mountain Climbers (1969), dan TMS-7 sendiri. Namun di kemudian hari IPKA-Indrakila menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraan kepada organisasi-organisasi yang lebih muda tersebut (pasrah bongkokan), dan Young Pioneers mengundurkan diri dan tak bersedia mengikuti Gladian Nasional ke-II tersebut. Akhirnya setelah tiba saatnya, penyelenggaraan Gladian Nasional II yang dipusatkan di wilayah Batu-Malang berjalan dengan sukses dan dihadiri banyak perhimpunan pendaki gunung a.l. Wanadri Bandung (Mas Is, Rony Kebo, Saryanto Sarbini, Mas Pendi), Extemasz Bandung (Djoni Djanaka), bahkan Rinjani Arga Club dari Mataram dan Pencinta Alam SMA 1 Denpasar juga hadir. Pada Gladian ini telah dirumuskan konsep Kode Etik Pencinta Alam, yang pada akhirnya disempurnakan pada Gladian ke-IV di Ujung Pandang. [TMS-7—Mitra Kelana.24 Agt 2007]. Pada bulan Desember 1972, kembali diadakan Gladian Nasional ke-III. Kali ini diadakan oleh Badan Koordinasi Pencinta Alam dan Penjelajah Alam se-Jakarta, bertempat di Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat.

Gladian Nasional ke-IV.

Pada kesempatan Gladian Nasional ke-III di Pantai Carita, Azis Longgari dengan beberapa teman dari Mountain Climber Association – Libra Double Cross Makassar mempersiapkan diri untuk hadir. Namun di dalam perjalanan, tidak diketahui apakah sebelum atau setelah mengikuti Gladian tersebut, Azis Longgari tewas akibat jatuh dari atap kereta di dekat Cirebon Jawa Barat dalam usahanya mengikuti Gladian tersebut. Duka cita yang mendalam bagi dunia pencinta alam di Makassar, apalagi Gladian berikutnya akan dilaksanakan di Ujung Pandang pada akhir 1973. Azis Longgari dikenal sebagai pioneer pendakian gunung di Makassar bahkan Sulawesi Selatan. Beliau bahkan sudah menaklukkan Gn Kinabalu (14000 kaki) di Malaysia Timur, bahkan konon yang pertama dari Indonesia [Tempo Online.17 Feb.1973, juga diskusi via internet dengan Rahmat Zainuddin, pendiri Kalpataru Smansa].

Penyelenggaraan Gladian Nasional ke-IV di Ujung Pandang yang seharusnya pada akhir 1973, molor sampai Januari 1974. Pelaksanaannya bertempat di Pulau Khayangan dan Tana Toraja, dan dihadiri oleh 44 perhimpunan pendaki gunung seluruh Indonesia. Hal ini pula yang mengakibatkan jadwal Gladian setelahnya sering molor. Pada Gladian ke-IV ini, Kode Etik Pencinta Alam yang sempat dirumuskan di Gladian Nasional ke-II di Batu Malang, disempurnakan dengan teks sebagai berikut :


CODE ETIK PENTJINTA ALAM INDONESIA


“ PENTJINTA ALAM INDONESIA SEDAR BAHWA ALAM BESERTA ISINJA ADALAH TJIPTAAN TUHAN JANG MAHAESA “


“PENTJINTA ALAM INDONESIA SEBAGAI BAHAGIAN DARI MASJARAKAT INDONESIA SEDAR AKAN TANGGUNG DJAWAB KAMI KEPADA TUHAN, BANGSA DAN TANAH AIR ”


” PENTJINTA ALAM INDONESIA SEDAR BAHWA PENTJINTA ALAM ADALAH SEBAHAGIAN DARI MACHLUK JANG MENTJINTAI ALAM SEBAGAI ANUGRAH TUHAN JANG MAHA ESA “


Sesuai dengan hakikat di atas kami dengan kesedaran menjatakan :


1. Mengabdi kepada Tuhan Jang Maha Esa.


2. Memelihara alam beserta isinja serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannja.


3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.


4. Menghormati tata kehidupan jang berlaku pada masjarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnja.


5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pentjinta alam sesuai dengan azas pentjinta alam.


6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah air.


7. Selesai.


Disjahkan bersama dalam


GLADIAN IV – 1974
Di Oejoeng Pandang

Bunga Rampai Pencinta Alam Ujung Pandang.

Era 80-an club-club pendaki banyak bubar, namun beberapa masih berusaha untuk bertahan. Pada 15-19 Mei 1980 di Leang-Leang Maros diadakan Jambore Variasi – Remaja Pencinta Alam & Pendaki Gunung se-Indonesia. Sempat diketahui bahwa Libra Double Cross terlibat sebagai panitia local, melalui Piagam Penghargaan atas nama Deddy a.k.a Nurdin Macca (L.039), yang ditanda tangani oleh Syariefuddin Makaritutu (Ketua Panitia) dan Yudhistira Alexander (Sekertaris). Hal ini membuktikan eksistensi LDC masih ada sampai tahun tersebut.
Pada era ini pula, dibentuk Himpunan Pencinta Alam (HIPALA) Sul-Sel, yang menghimpun seluruh organisasi yang ada di Makassar dan sekitarnya. HIPALA dipimpin oleh alm. Andi Baso Amri (anggota Paspampres). Kegiatan besar yang mereka lakukan pada saat itu adalah Bawakaraeng Trail (pendakian massal ke Bawakaraeng), dan kegiatan ini bertahan sampai Bawakaraeng Trail IV. Di basecamp pendaki Kampung Beru pada saat itu, ada plang HIPALA Sul-Sel yang bertuliskan “Medan Bawakaraeng Trail Milik HIPALA Sul-Sel, Selamat Mendaki, Tabah Sampai Akhir dalam Keyakinan” dan yang satunya bertuliskan “Puncak Gunung Bawakaraeng Milik HIPALA Sul-Sel/Pencinta Alam Indonesia”. Menurut Chaidir Manan (Bang Herman) anggota LDC paling terakhir [pada saat diskusi lepas di Aksi Bersih Pantai FPL Makassar, Januari 2010], pembentukan HIPALA merupakan bentuk control pemerintah terhadap pencinta alam, karena potensi besarnya untuk melakukan pergerakan massif kontra Orde Baru. Terlepas dari itu, bahwa HIPALA Sul-Sel telah turut mewarnai perjalanan aktifitas pencinta alam di Makassar.

rekomendasi bacaan
Sejarah Pendakian Gunung dan Pengetahuan Tentang Panjat Tebing di Indonesia

Pada masa yang hampir bersamaan, muncul 2 (dua) kelompok pencinta alam yaitu Kharisma Nolsatu Bawakaraeng (di kemudian hari berganti nama menjadi Kharisma Indonesia – Serikat Cinta Alam/KISCA), yang digawangi oleh Guntur Saputra, Umar Arsal, Asmin Amin, Kamran dll., dan Ikatan Pencinta Lingkungan Hidup – Mattoanging (IPLH-Mattoanging), yang dibesut oleh Maladi, Maxi, Angky, Amir dll. Kharisma lahir di SMA 1 Makassar (SMANSA), karena seluruh pendirinya adalah siswa SMANSA. Namun pada saat banyak anggotanya telah lulus pada tahun 1982, maka Kharisma dibawa keluar dari SMANSA oleh anggotanya dan bersekertariat di Jln. Bontolempangan (kediaman Guntur). Berbagai prestasi mereka torehkan pada zamannya. IPLH sering juara lomba kebut gunung, sedangkan Kharisma lewat anggotanya Kamran, menjadi pelopor Rock Climbing di Makassar. Kharisma juga patut diacung jempol atas penemuan beberapa gua di Maros dan Lembah Kharisma di jalur perlintasan Gn Lompobattang-Gn Bawakaraeng. Kedua organisasi tersebut turut membidani lahirnya beberapa Mapala dan KPA (termasuk Mapala UMI pada tahun 1981, sebagai Mapala tertua di Makassar) [diskusi via internet dengan Rahmat Zainuddin, pendiri Kalpataru]. Era berikutnya lahir Chipipa’X (Cinta Hidup Ikrar Pemuda Indonesia Pencinta Alam “Sepuluh Oktober”) didirikan oleh Andi Idham, Andi Ilham dll, yang juga merupakan barometer pencinta alam pada zamannya.


Pada 10 Oktober 1982, sekelompok siswa SMANSA mendaki puncak Bawakaraeng. Mereka bertujuan mendirikan organisasi pencinta alam bagi siswa-siswi SMANSA, karena wadah sebelumnya sudah tidak ada lagi (Kharisma sudah dibawa keluar). Kemudian lahirlah KPA Kalpataru SMANSA Ujung Pandang sebagai bond Siswa Pencinta Alam tertua di Makassar. Pendirinya a.l. Rahmat Zainuddin, Yusran Palengkey, Adhe Syumaatmadja, Nanang Achsan, Nuralam Parjono, Fachruddin, Aditya, Eko, Asrul Yani, Yani Abidin, Syamsuddin, Adam Andi Oemar, Jefry dll.


Sumber: Googling dan tulisan  Alan Christianz FPL makassar



     
Halaman Selanjutnya
« Prev Post
Halaman Sebelumnya
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
PAK SUGI
admin
1 Juni 2016 pukul 09.14 ×

INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT





INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBA



INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT





INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL TLP KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB KAMI SUDAH 7X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBA

Reply
avatar
6 Januari 2017 pukul 04.59 ×

MataJala (Pecinta Alam) Universitas Ma'arif Nahdlatul Ulama (UMNU) Kebumen. JL Kusuma No. 75 Kebumen, Jawa Tengah.
Web: http://matajala.itumnu.com
email: matajala@itumnu.com

Reply
avatar
Thanks for your comment