Tentang Merdeka Kisahmu Masih Menggelora Pada Rinduku

Tentang apa harus kutuliskan kemerdekaan tahun ini,tinta penaku mengering,layar laptop kawanku seakan rusak,mungkin saja para sahabat petualang merayakannya dengan semangat membara menuju puncak gunung atau memanjat tebing untuk mengibarkan kejayaan dari atribut kegagahan yang mereka bawa serta,sahabatku yang senang menulis mewujudkan kemerdekaan melalui barisan kata-kata bermakna dan mereka para sahabatku para pemusik mungkin mendendangkan nyanyian kemerdekaan atau mungkin saja mereka memainkan musik tanpa nyanyian.17 Agustus 1945 indonesia memproklamirkan kemerdekaan,dan kata nenek temanku dia sempat menyaksikan pesta kemerdekaan setahun setelah bung karno dan bung hatta memproklamirkan kemerdekaan negara ini “Indonesia”.Era itu berlalu, tanpa dirasa indonesia telah merdeka selama 66 tahun,kemerdekaan yang sempat kutanyakan pada Bakhtiar Sepek,Akmal,Kadir,Jumriani Adam,Tigor,Bhaim sakit gigi,arsul dan Kasman kaluru’ disela-sela tidurnya Iryl makkatutu kawanku Si lelaki Gerimis kawanku yang seorang penulis beraliran romantisme,tak ada yang bisa menjawab “ini perayaan kemerdekaan yang keberapa”,untung saja perempuan yang sedang berbicara dengan Akmal melalui ponsel mampu memberikan jawaban bahwa hari ini adalah perayaan kemerdekaan indonesia yang ke-66,lalu aku bertanya pada gelas yang berisi kopi hangat di depanku


“apakah aku dan kau telah merdeka?”

Seperti biasa hanya diam tanpa kata,aku tertawa sendiri,sambil melanjutkan tulisanku ini.


Delapan tahun lalu ada kata pada kenangan bersama kekasihku yang wangi melatinya masih mewangi pada syair laguku,yang semangatnya masih mengalir dalam langkah bersama belaian embun dan nyanyian alam,delapan tahun yang lalu tepat pada tanggal 17 agustus disebuah pagi yang damai aku berbicara padanya tentang kemerdekaan sambil memandangi lembah dengan belantara nan hijau.

Sambil menyuguhkan segelas kopi Dhika mulai berbicara tentang makna kemerdekaan yang kutanyakan padanya ,

”oke lah sul”,katanya padaku,sambil sesekali meneguk kopi buatanku.


“Pada setiap petualanganku mendaki gunung,menempuh hutan belantara ,aku merasa merdeka dan menikmati setiap lelah bersama keringat yang membasahi tubuhku ketika aku telah sampai pada titik akhir perjalananku seperti sekarang kita sudah berada di puncak gunung bawakaraeng setelah menyusuri setapak yang terjal dan meminum air yang mengalir disungai-sungai kecil,begitu nikmat kurasakan, sulkifli amri”,begitu lengkap dia menyebut namaku sambil menghadapkan wajahnya padaku hingga nampak jelas wajahnya yang berseri di terpa mentari pagi lalu kembali memandang lembah nan hijau dengan kabut yang masih nampak bergerak,pemandangan yang selalu kusapa bersama dhika dan kawan-kawanku saat kehidupan kota menjenuhkan dengan bising dan polusinya.

Tentang Merdeka “Kisahmu Masih Menggelora Pada Rinduku”

“Sul,sekarang giliran kamu mengeluarkan pendapat tentang kemerdekaan”,Dhika memalingkan wajahnya kepadaku menunggu argumenku tentang makna kemerdekaan,sejenak aku terdiam memandangi wajahnya yang putih berseri tatapan mata dan senyumnya menyatu dalam kehikmatan alam,rambutnya yang halus panjang tergerai dimainkan angin menambah pesonanya,”baiklah Dhika,dengar yah”, jawabku padanya setelah aku takjub sejenak pada pesonanya.

“Ketika aku berada di tengah-tengah kehidupan manusia-manusia pinggiran,aku melihat dan merasakan kalau mereka belum menikmati kemerdekaan bahkan kemanusiaan mereka dipermainkan negara yang merdeka ini.Dhika,dibalik apa yang kulihat itu aku merasa merdeka saat aku menikmati segelas kopi dan menyanyikan balada alam dan petualang bersamamu di tengah-tengah belantara nan hijau,seperti sekarang,itulah kemerdekaan untukku”.

“Ow,begitu yah sul”,katanya dan kujawab iya begitu sambil bercanda padanya yang kini telah tenang bersama ceritanya.

“Sul, nyanyikan dong aku lagu tentang alam”,sambil memainkan edelweis yang seakan mengerti dengan nuansa kemerdekaan di belantara ini dhika mendengarkan dengan seksama lagu balada tentang alam yang kunyanyikan untuknya,begitu damai dan merdekanya perempuan ini bersama belaian mesra angin pegunungan.

“ahah,disini rupanya kalian berdua,dari tadi dicari ternyata lagi berduaan menikmati damai sendiri,Sul dan Dhika ternyata,mereka disini sudah lebih dulu menikmati hangatnya kopi”,sambil berteriak memanggil teman-temanku yang lain,tika,boy dan ijan yang Baru sampai menyusul kami yang telah lebih dulu menginjakkan kaki di puncak bawakaraeng ini sambil meneriakkan kata “Merdeka”dengan lantangnya.

Sambil bercengkrama dengan mereka,dalam benakku mengatakan bahwa kemerdekaan itu adalah saat kita telah merasa hikmad dan nikmat dengan apa yang telah kita capai dengan semangat dan usaha yang keras ,bersama kembali meneguk kopi yang baru saja dibuat rani dan kembali meneriakkan “merdeka!”.

Waktu itu telah berlalu dan kini ku berada di ruang malam menanti fajar sambil membuka sebuah buku sehimpun Puisi “Kaki Waktu”,kutemukan sebuah puisi yang berjudul “Lelaki yang Menjadi Angin”,kembali mengingatkanku pada sebuah kisah dalam petualanganku*


RK.02.37/17-08-011.rachmat suatan
ilustrasi gambar:http://souloftruth.com

Halaman Selanjutnya
« Prev Post
Halaman Sebelumnya
Next Post »
Thanks for your comment